Problematik Dinamika Literasi Indonesia

November 17, 2020, oleh: admin Fisipol

Intrans Publishing menggelar sharing sessions bertema “Dinamika Literasi Media di Indonesia.” Menghadirkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IK UMY), Fajar Junaedi. Diskusi diselenggarakan di Wisma Kalimetro, Jalan Joyosuko Metro 42, Merjosari, Kota Malang. Senin, 16 November 2020, pukul 14.00-15.30 WIB.

Pada kesempatan tersebut, selain mengulik mengenai problematik minimnya verifikasi informasi pada era globalisasi informasi, tetapi jua tak luput mengkritisi perihal implementasi literasi media di Indonesia, yang menurut Fajar jika disandingkan dengan Amerika, Indonesia jauh tertinggal. Sebab menurutnya, literasi media sudah menjadi skill yang diajarkan kepada anak-anak, sehingga akan banyak kita amati dewasa ini penyebaran hoaks dan konspirasi di Indonesia.

Merujuk pada buku Introduction to Media Literacy karya James Potter, Fajar menyebut ada beberapa pengertian literasi media seperti kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan kemampuan untuk membuat media alternatif. Lebih lanjut, ia menerangkan perihal relasi media dan audiens, teori David Marley dan Stuart Hall, atau dalam encoding dan decoding terdapat tiga posisi pembaca terhadap teks media yakni, hegemonic reading: ketika pembaca menyetujui; mengamini apa yang ada dalam teks media, dan seratus persen menjalankannya. Kedua, opposition reading: ketika audiens dalam proses decoding benar-benar menolaknya. Dan ketiga adalah negotiation reading: ketika pembaca atau audiens melakukan proses negosiasi, yang mana pada posisi ini terjadi proses seleksi pada teks, isi, dan pesan media.

Membandingkan kondisi era informasi saat ini dengan era Orde Baru, Fajar mengatakan bahwa pada masa Reformasi kita ditandai dengan dua hal penting, pertama melalui perubahan sistem politik yang memungkinkan orang bebas menerbitkan media, di mana surat izin usaha penerbitan pers dihapuskan. Kedua ialah perubahan dalam aspek teknologi, ketika internet mulai merambah masuk dan dikenal. Dua hal ini ia sebut sebagai penanda perubahan milenium bersamaan dengan banyaknya kemunculan media dan media alternatif.

Kesadaran mengawal kemerdekaan pers agar pemberitaan tidak merugikan masyarakat mulai lahir diiringi oleh gagasan untuk mengadvokasi audiens atau masyarakat seperti yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Fajar menganalogikan fenomena ini sebagai gelombang tiba-tiba tsunami, yang secara luar biasa timbul menimpa audiensnya. Kebebasan bermedia serta akses informasi dan teknologi di era ini lalu seakan-akan mengurangi ruang publik untuk berdiskusi. Banyak anak-anak muda menjadi termanjakan oleh handphone, akhirnya–Fajar menuturkan–terjadi pengendapan dan kemerosotan dialektika. Untuk itu, tantangan saat ini adalah membuat ruang-ruang publik kembali diminati dan dimanfaatkan sebagai area diskusi.

Pada akhir sesi diskusi, Fajar menerangkan bahwa literasi media bisa dimunculkan dengan tindakan bukan dengan pajangan. Kebodohan hanya bisa diperangi dengan membaca, tingkat keberhasilan membaca adalah dengan menulis. Maka dicerna dari sudut pandangnya, inilah dua hal penting yang dapat memicu pergerakan dan perubahan yaitu, kembali membaca dan menulis. (rki)

Lihat tayangan ulang sharing sessions Dinamika Literasi Media di Indonesia di sini.