Mengangkat Tema Kajian dan Akhirat, Kajian Rutin Fisipol UMY Sarat akan Makna

November 21, 2022, oleh: admin Fisipol

Kajian Rutin FISIPOL UMY kembali diadakan Jum’at (18/11) bertempat di Ruang Sidang FISIPOL. Kajian yang diikuti oleh seluruh dosen dan tenaga kependidikan serta temporary staff kali ini mengundang Ustadz Imam Arifin, S.Th.I sebagai penceramah dengan tema: Nasehat dan Akhirat.

 

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, ”Bersama sepuluh orang, aku menemui Nabi SAW lalu salah seorang di antara kami bertanya, ‘Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat’.”

 

Kematian adalah nasehat, sementara nasehat merupakan hal yang bisa diterima maupun tidak. Namun, kematian adalah hal yang bisa membuat manusia selalu berhati-hati dalam mengambil langkah hidup. Manusia yang meyakini kematian dan kehidupan selanjutnya akan memperbanyak amalan sebagai bekal kelak.

 

“Salah satu amalan mudah tapi berpahala besar adalah bersahabat dengan Al-Qur’an,” ungkap Imam. Ada dua cara untuk menjadi dekat dengan Al-Qur’an. Pertama, dengan meyakini sepenuhnya. Kedua, mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Keduanya tampak sederhana, hanya saja manusia kesulitan dalam praktiknya.

 

Meyakini Al-Qur’an sepenuhnya berarti meletakkan wahyu diatas akal sehat. Perkara ini membuat manusia terkadang meragukan Al-Qur’an karena bertentangan dengan akal. Menurut Ibnu Taimiyah, akal sehat adalah akal yang sejalan dengan wahyu. Untuk sampai pada tahap mengamalkan Al-Qur’an pun, butuh waktu untuk mempelajari terlebih dahulu, kemudian memahami, baru bisa mengamalkan.

 

Imam kemudian memberi perumpamaan dengan persoalan hukum pembagian warisan. “Ada seorang anak bungsu perempuan dari lima bersaudara. Orang tuanya sudah sakit-sakitan dan dari lima anaknya, hanya si bungsu yang merawat orang tuanya sepenuh hati. Sementara saudara pertama hingga keempatnya laki-laki, sudah tinggal di kota yang berbeda. Keempatnya tidak ikut merawat orang tuanya, tidak juga berkunjung ke rumah. Saat orang tuanya meninggal, yang mendapat bagian terbesar adalah saudara-saudaranya. Menurut Bapak/Ibu, apakah saudaranya tersebut berhak mendapat warisan sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa ayat 11 & 12?”

 

Salah satu jamaah menjawab bahwa pembagian tetap sesuai dengan hukum waris. Imam membenarkan keputusan tersebut. Meski mendapat bagian paling sedikit, tetapi keberkahannya membuat bisnis si bungsu yang bermodal harta warisan berkembang lebih jauh daripada saudara-saudaranya.

 

“Jangan gunakan akal yang terbatas untuk memahami wahyu yang tidak terbatas. Cukup gunakan akal sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an,” demikian tutup Imam.