Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Masa Pandemi: Respons Perencanaan Daerah dan Sektro Publik dalam Mengurangi Kemiskinan

January 16, 2021, oleh: admin Fisipol

Situasi pandemi COVID-19 yang melanda hampir seluruh wilayah di dunia membutuhkan kebijakan dan regulasi yang tepat agar mampu mengatasi bukan hanya pada situasi krisis sosial tetapi juga krisis ekonomi. Membahas isu tersebut, Lab Ilmu Pengetahuan mengadakan diskusi dalam agenda webinar bertema, “Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Masa Pandemi: Respon Perencanaan Daerah dan Sektro Publik dalam Pengurangan Kemiskinan” yang dihadiri oleh pemateri ahli, yaitu Prof. Rofikoh Rokhim, SE., SIP., DEA., Ph.D, Komisaris Independen Bank BRI; Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP, Ketua Departemen MKP UGM; serta Sri Suhartanto, SIP., M.Si, Kepala Bappeda Gunungkidul pada Jumat (8/1) melalui Zoom Meeting yang disiarkan langsung melalui YouTube dan dimoderatori oleh Sakir Ridho Wijaya, S.IP., M.IP.

Pada bincang-bincang tersebut, Rofikoh secara khusus menyampaikan materi mengenai kebijakan dan krisis moneter. Ketika dihadapkan pada situasi kritis seperti sekarang ini, Rofikoh menuturkan negara-negara dari berbagai pelosok dunia bekerja keras melakukan pencegahan dan penanganan demi menghadapi risiko kritis dalam berbagai bidang khususnya krisis ekonomi dan kesehatan. Pencegahan terhadap krisis ekonomi dibuktikan dengan melakukan stimulus ekstensif berupa stimulus fiskal, moneter, dan sektor keuangan. Sementara dalam hal kesehatan ialah dengan menerapkan kebijakan lockdown, partial lockdown, physical distancing, rapid and massive test, travel band/restriction, Work From Home (WFH), Study From Home (SFH), dan sebagainya.

Rofikoh menerangkan transmisi dampak COVID-19 pada perekonomian di Indonesia maupun dunia secara langsung dan tidak langsung seperti pada bidang trade and service channel dan investment channel, menyebabkan penurunan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). “Karena jika berbicara mengenai teori dasar persatu output itukan penjumlahan dari konsumsi, investasi, government spending, ekspor dan impor,” jelas Rofikoh.

Sedangkan, dilihat dari perbedaan kondisi makro dan perbankan antar tahun 1998, 2008, dan 2020 saat terjadi krisis, tahun ini ketika dihadapkan dengan situasi COVID-19, ia mengatakan bahwa inflasi lebih terkendali dibanding kedua tahun sebelumnya. Ini ia sebut berkat adanya Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang melibatkan kerja sama dengan kementerian, lembaga terkait seperti kepolisian juga pemerintah daerah. Sehingga—ujarnya—tidak ada lagi penimbunan barang dan transportasi yang terganggu distribusinya.

Meski demikian, pandemi COVID-19 tetap memberikan efek bervariasi pada berbagai sektor, terutama sektor riil yang menjadi sektor paling terdampak dan berpotensi menyebabkan terjadinya PHK dan memunculkan golongan masyarakat miskin baru. Ada tiga sektor lain yang paling terdampak berdasarkan penuturan Rofikoh, yakni transportasi dan pergudangan, ekstraksi minyak dan gas, serta konstruksi. Selain sektor tersebut, dampak terhadap pelaku usaha pada kasus penjualan ialah penurunan penjualan dan pengurangan biaya pegawai. Dalam mengatasinya beberapa tindakan umum yang dilakukan ialah seperti melalui bantuan pemerintah, mengurangi belanja makanan, dan mengurangi belanja non-makanan.

Di sisi lain, menelaah aspek fiskal pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan fokus pada cara pemerintah mengalokasikan dana untuk krisis COVID-19—Wahyudi—Ketua Departemen MKP UGM memaparkan bahwa kebijakan fiskal yang mestinya bersifat counter-cyclical dengan kata lain jika siklus ekonomi sedang buruk pemerintah tidak perlu ragu mengeluarkan uang, sementara jika ekomoni naik dan cenderung mengalami inflasi, semestinya pemerintah dapat menahan pengeluaran. Counter-cyclical ini kebanyakan gagal diterapkan di berbagai negara terlebih pula di Indonesia. “Kita menghadapi banyak contoh di berbagai negara, di mana pemerintah itu gagal melakukan counter-cyclical ini. Pemerintah ketika kemudian masyarakat itu lesu ekonominya, tidak kemudian mendorong dengan lebih baik; tidak banyak mengeluarkan duit atau gagal di alokasi anggarannya. Malah justru kemudian sudah ekonomi kembang kempis, ternyata kemudian direm lagi oleh pemerintah,” ujar Wahyudi.

Sebenarnya dalam mengendalikan persoalan pandemi itu sederhana, terang Wahyudi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa hal pertama yang perlu diperhatikan ialah pelayanan kesehatan agar tidak sampai collapse. “Memang sebenarnya COVID-19 ini kalau terkena pada orang akan berbagai macam reaksinya, tetapi sebagian besar sebenarnya bisa sembuh. Masalahnya adalah orang yang masuk proses penyembuhan ini harus ke rumah sakit; harus menggunakan layanan kesehatan. Tetapi kalau layanan kesehatan itu tidak bisa mengatasi karena begitu banyaknya penumpukan pasien di rumah sakit, maka itu akan mengakibatkan tidak ada lagi fasilitas yang tersedia di rumah sakit dan akhirnya banyak orang yang meninggal dan inilah yang kita maksudkan,” sambung Wahyudi.

Gangguan kesehatan yang telah dipaparkan Wahyudi di atas dapat berimbas kepada aktivitas sosial dan ekonomi hingga sampai pada gangguan sektor riil dan peningkatan risiko di sektor keuangan. Karenanya ketika terjadi ancaman kemiskinan pada masa pandemi COVID-19, pemerintah daerah memiliki strategi tertentu. Sri Suhartanto, Kepala Bappeda Gunungkidul menerangkan strategi ini tersusun pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2021 yakni Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Sosial Masyarakat. RKPD memuat prioritas pembangunan di tahun 2021 antara lain: pemulihan ekonomi dan ketahanan pangan, pemulihan kehidupan sosial dan penganggulangan kemiskinan, peningkatan derajat kesehatan dan kualitas pendidikan, pemulihan infrastruktur dasar dan peningkatan pengelolaan bencana, serta reformasi birokrasi.

Pemerintah daerah dalam hal ini memiliki konsep berkenaan dengan sektor pariwisata yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi didukung pula oleh sektor lain ketika terjadi krisis kala pandemi COVID-19. Oleh sebab itu, strategi pemberdayaan memastikan bahwa masyarakat terlibat dalam pembangunan sehingga terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan serta pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. (rki)