Ananto Isworo, Pahlawan Bumi Kampung Brajan edisi Hari Pahlawan

November 11, 2020, oleh: admin Fisipol

Ananto Isworo, Founder sekaligus Program Manajer gerakan #Shadaqah Sampah berbasis eco-masjid, Masjid Al Muharam, Kampung Brajan, Tamantirto berhasil membuat gebrakan dan membangun kesadaran kepada masyarakat Kampung Brajan mengenai pentingnya pengelolaan sampah. Dari penuturannya, Ananto mengisahkan kala itu kondisi lingkungan Kampung Brajan di tahun 2005 ketika dia baru pindah, masih sangat bervariatif alias beragam.

Ananto yang juga pengurus pengajian di kampung tersebut banyak mendapat keluh-kesah dari masyarakat Kampung Brajan mengenai kendala pendidikan. Dari situlah, ujarnya, motif untuk membantu masyarakat terbangun. Dia menuturkan, “Banyak anak putus sekolah, kemudian biaya kesehatan yang tidak terjangkau, pemenuhan ekonomi yang juga terbatas, sehingga kita bergerak untuk dapat membantu. Tetapi memang kita punya keterbatasan, sehingga kita mencoba mencari alternatif di mana kita bisa membantu mereka menyelesaikan persoalan mereka atau memberi solusi, tetapi sekaligus juga mengajak mereka untuk memberdayakan.”

Gerakan sedekah sampah yang diawali dari kondisi masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam pengelolaan sampah, akhirnya pada 2013, Ananto bersama Pak Triono memunculkan istilah #Shadaqah Sampah, yang mana menurut keduanya memuat makna nilai spiritualitas untuk membangun dan memberdayakan masyarakat agar ikut terlibat dalam pengelolaan lingkungan, yang hasilnya dapat digunakan untuk membantu pendidikan anak-anak yatim piatu, memberikan sembako kepada janda fakir miskin, sekaligus memberi santunan kesehatan bagi warga yang kurang mampu.

Prinsip utamanya dari gerakan #Shadaqah Sampah adalah ta’awun dan takaful. Ada ketertarikan orang-orang dalam gerakan ini, karena semakin sering bersedekah mereka akhirnya juga merasa kedekatan dengan masjid sehingga menjadi nilai ibadah, juga mau bertandang ke masjid. Berbicara mengenai duka dalam menjalankan gerakan inovatif ini, Ananto menceritakan ketika pertama kali memulai gerakan #Shadaqah Sampah di 2013, banyak masyarakat yang skeptis terhadap gagasan tersebut. “Dari mana nilai sedekahnya, wong itu sampah,” ujar Ananto menirukan tanggapan masyarakat.

“Di awal itu hanya berlima selama dua tahun. Saya, Pak Haris, Mas Agung, ada Mas Lukman, kemudian ada kemarin Bu Marsiah, ada Pakde Dalio. Dua tahun itu, ya habis-habisan mengelola sampah sekian banyak sampai sore. Tidak ada kepercayaan dari masyarakat bahwa ini bisa menghasilkan, bisa menjadi emas kalau bahasa saya. Sampai akhirnya satu pekan kita kumpulkan sampah, kita jual laku Rp500.000. Dan saya sampaikan lagi di pengajian, ini Rp500.000 kalau untuk bayar SPP anak SMP dengan biaya Rp60.000 paling enggak sudah dapat 8 anak. Dari situ [kemudian] ada kepercayaan. Tapi tetap ada orang yang senang tidak senang dan seterusnya. Tapi kita mencoba terus menggali. Alhamdulillah, di 2015 kita dapat support yang cukup bagus dari Rektor UMY, waktu itu Profesor Bambang Cipto memberikan motor roda tiga kepada kita untuk operasional,” tuturnya.

Sebelum adanya dukungan berupa motor roda tiga tersebut, Ananto dan timnya hanya menangani pengambilan sampah di lingkungan sekitar kampung dengan menggunakan motor pribadinya. Kini akhirnya mereka dapat melayani pengambilan sampah tidak hanya dari dalam kampung, tetapi juga dari luar kampung. Dukungan yang datang dari UMY juga hadir dari beberapa dosen seperti, Fajar Junaedi dan Filosa Gita Sumono, dosen Ilmu Komunikasi, serta Triyono, dosen Agribisnis, yang ujar Ananto sering memberikan pembinaan.

Ananto berpesan bahwa kita perlu mengubah pandangan terhadap sampah. Dia menerangkan, “Mari kita ubah cara pandang kita terhadap sampah karena cara pandang yang salah terhadap sampah akan sangat mempengaruhi kepada pola perlakuan kita pada sampah. Selama ini masyarakat berpikir sampah itu kotor, bau, dan menjijikan karena memang dari rumah tidak dipilih terlebih dahulu, dicampur sehingga baunya seperti itu dan terkesan jorok. Karena cara pandang sampah itu kotor; bau, maka jadilah harus dibuang; dijauhkan; dijauhi. Maka munculah: buanglah sampah pada tempatnya. Kalau cara pandang kita benar terhadap sampah, maka perlakuan kita juga akan benar. Kalau sampah kita nilai sebagai sesuatu yang bernilai, kalau saya katakan ada emas yang tersembunyi karena ada nilai yang cukup besar, maka sejak dari rumah tangga kita pilah sehingga sampah itu tetap bersih, kemudian kita kelola dulu.”

Menurut Ananto pepatah buanglah sampah pada tempatnya memiliki nilai positif dan negatif. Untuk itu dia dan tim #Shadaqah Sampah menciptakan tagline sendiri yakni, shadaqahkan sampahmu pada tempatnya, mengelola sampah yang sifatnya duniawi tetapi mencapai nilai sampai ukhrawi. Dia mengatakan, “Ada nilai plus di mana sampah yang dalam kacamata visual kita barang yang tidak berguna, tapi sesungguhnya itu masih dapat berguna untuk orang lain karena ketika dikelola dengan baik uangnya bisa untuk membantu anak-anak yatim piatu, bisa sekolah, memberikan sembako bagi warga fakir miskin, dan membantu santunan kesehatan untuk bagi warga kurang mampu.” (rki)

Lihat perjuangan Ananto Isworo di sini.