SAHUR "JALANAN" ALA BEM FISIPOL UMY

September 9, 2010, oleh: admin Fisipol

Jum’at (20/08) dini hari, asap mengepul dari tungku-tungku yang baru dipadamkan. Tadinya tungku-tungku besar itu digunakan menanak beras yang merupakan hasil sumbangan dari Mahasiswa Baru Fisipol kala mataf. Kini berkarung beras tersebut telah berubah menjadi nasi putih pulen siap makan. Kantor Bem Fisipol UMY di sesaki oleh laskar mahasiswa Fisipol yang tengah menyiapkan agenda terakhir meraka di bulan suci ini..”Sahur on The Road”. Layaknya pramuniaga rumah makan padang, dengan gesit, tangan-tangan mereka membungkusi nasi yang totalnya berkisar 180an bungkus. Dinginnya malam seakan terlindas hangatnya kebersamaan mereka untuk satu tujuan: BERBAGI.

“Sahur on the road bukanlah sekadar ritual perayaan ramadhan semata. Bukan pula sekadar kelatahan tradisi aktivis di Bulan Ramadhan ini. Lebih dari itu, sahur dengan turun ke jalan diharapkan mampu membuka mata kita bahwa di bumi tempat kita berpijak ini melimpah ruah manusia yang tiap harinya diliputi pertanyaan : DAPATKAH KITA MAKAN HARI INI?” (Ahmad Fanani, Gubernur Bem Fisipol)

Ahmad Fanani, Gubernur Bem yang ditanyai komentar mengenai rangkaian agenda Ramadhan Bem Fisipol kali ini mengutarakan harapannya betapa bagi mahasiswa Fisipol haruslah menjadikan agenda ini sejenis santapan rutin. Bukan semata untuk menggugurkan kewajiban organisasi. hal  tersebut dirasa penting untuk mempertajam kecerdasan sosialnya agar tidak buta dengan dinamika lingkungan disekitarnya.

Senada dengan itu, sepanjang rute Sahur yang dimulai dari kampus UMY dan berakhir di pelataran tugu, Che Cen Ivan Patria, salah seorang pengurus Bem Fisip tak henti mengutarakan kebahagiaannya dapat berbagi meski dalam jumlah yang tak seberapa.

“Saya senang melihat senyum mereka ketika menerima makanan sahur dari kita” ujarnya antusias.

Pukul 2 lewat 30 menit pasukan “Sahur Jalanan” beraksi. Dengan mengendarai motor mereka mulai membelah jalanan kota gudeg ini. Kepala selingak-celinguk kanan-kiri, memperhatikan dengan seksama siapa saja yang dirasa berhak mendapatkan makanan ala kadarnya. Para penarik becak, orang-orang yang tidur di emperan toko, tukang sapu jalanan, semua tak luput dari jangkauan mereka. Bahkan ada suatu pelajaran menarik yang diutarakan peserta kala membagikan makanan. Yaitu saat seorang nenek yang tengah terbaring di emperan toko wilayah tugu menolak makanan yang diberi. Bukan krn apa, tak lain krn beliau telah makan sebelumnya. Sungguh hal ironi dikala orang-orang lebih mampu dan terdidik dari mereka relatif lekat dengan keserakahan.

Sedikitnya ada beberapa hal yang menjadi esensi dari perjalanan Bem Fisipol kali ini, bahwa membagi-bagikan makanan memang tidak lantas menjadikan “mereka” sejahtera, nilai berbagi kala itu hendaklah dipahami secara mendalam. Lebih kepada nilai tanggung jawab yang menggelayut di pundak kita, MAHASISWA yang konon jumlahnya tak lebih dari 5 % penduduk negeri ini. Berbagi dalam bentuk konkrit diharapkan mampu memberi edukasi kepada masyarakat luas serta pemangku jabatan bahwa masih ada yang perlu dibenahi dari lingkungan kita. Bahwa masih ada orang-orang yang tertinggal jauh dibelakang, bahwa mereka perlu menyadari bahwa mereka tidaklah sendiri. (az)